AHMAD SAKTI HASIBUAN: “TUKANG PARKIR KE LUAR NEGERI”


http://motivasibeasiswa.org/2013/02/08/ahmad-sakti-hasibuan-tukang-parkir-ke-luar-negeri/

Cerita ringan ini bermula dari ketika aku baru saja meluluskan pendidikan di Madrasah Aliyah Darul Falah Langgapayung-sebuah pesantren ternama di Kabupaten Labuhanbatu. Sebagai seorang santri yang baru saja lulus, melanjutkan pendidikan agama ke jenjang yang lebih tinggi sudah menjadi impianku hingga kelak bisa menjadi panutan kepada masyarakat secara umum dan keluarga khususnya. Namun, dari segi kondisi keuangan keluarga yang morat-marit. Aku tidak begitu yakin kalau niatku akan kesampaian .

Hampir sebulan setelah aku kembali bersama keluarga, ayah dan ibu belum pernah sekalipun menyinggung persoalan ke arah itu. Aku sendiripun tidak mau mengungkitnya. Takut kalau hal itu akan membuat ayah dan ibu bersedih dan berkecil hati. Namun, suatu malam seusai shalat Isya aku memberanikan diri bercerita ke ayah untuk menunda kuliah tahun itu dengan alasan kalau aku ingin membantu ayah bekerja dulu. Sempat terjadi perdebatan kecil dengan ayah. Ayah sempat bilang, “Apapun ceritanya kamu harus kuliah!”. Ayah optimis aku harus kuliah tahun ini. Walaupun sebenarnya harapan itu sangat kecil jika dilihat dari segi keuangan kami.

Tawaran Mengajar SD

Kebetulan atau tidak, keesokan harinya, Ibu Kuma, kepala sekolah SD Negeri yang letaknya tepat di belakang rumah kami, datang ke rumah. Bu Kuma memintaku untuk mengajar di SD tersebut karena mereka lagi kekurangan tenaga pengajar. Diluar dugaan, ternyata ayah tidak mengizinkanku untuk mengajardengan alasan akhir bulan ini, aku harus berangkat ke Medan untuk mendaftar kuliah. Entah dari mana ayah mendapat ide tersebut. Padahal saat itu pendaftaran SPMB sudah tutup. Bahkan pendaftaran ujian lokal ke IAIN pun sudah tinggal beberapa hari lagi. Kalau ayah bilang aku akan berangkat ke Medan akhir bulan ini. Itu merupakan hal yang sia-sia. Tapi, itulah ayah. Semangatnya begitu tinggi untuk melanjutkan sekolah anak-anaknya.

Aku bersedia mengajar, ayah” jawabku. “Aku mau mengajar di SD yang ditawarkan Ibu Kuma, bila perlu mulai besok aku sudah siap untuk mengajar”, tambahku. Ayah tercengang dan diam. Terlihat raut sedih di wajahnya. Mata ayah mulai memerah. Hingga air bening mulai menetes dari bola mata ayah. Pertanda ada hal yang sedang menderu hatinya. “Pak saya pamit dulu, kalau Ahmad bersedia dan bapak mengizinkan. Mulai besok dia boleh datang dan mulai mengajar”, kata Ibu Kuma. “Iya Bu, terima kasih”, Ayah menimpali.

Beberapa saat setelah Ibu Kuma beranjak. Aku meyakinkan ayah bahwa tak sedikitpun aku berkecil hati karena tidak bisa kuliah tahun itu. Yang terpenting bagiku SLTA sudah kulalui dan tinggal menunggu Ijazah keluar. Jika aku memang ditakdirkan untuk mengecam pendidikan di perguruan tinggi. Pasti Allah memudahkan jalan bagiku.

Beberapa hari kemudian aku sudah mengajar di kelas 6 dan mendidik para siswa bersama guru-guru di SD itu, yang tidak lain adalah para guru yang telah sangat berjasa padaku. Mengajariku dari merangkai huruf abjad hingga bisa berdiri di depan layaknya seperti para guru yang lain. Kegiatan baru inipun mulai aku tekuni mengabdikan segenap pikiranku untuk berbagi dengan para siswa merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagiku. Ya, setidaknya apa yang telah ku pelajari di pesantren selama 6 tahun bisa ku amalkan dengan mengajarkannya.

Bertani Cabe sambil Terus Bermimpi

Jam pelajaran di sekolah tersebut hanya berkisar sampai jam satu siang. Nah, untuk mengisi kekosongan waktu sehabis pulang mengajar, aku mengusulkan ide ke ayah agar dapat memberikan izin untuk membuka lahan pertanian cabe. Ayah pun mengiyakannya. Maka, sesudah jam pelajaran sekolah biasanya aku menghabiskan waktu untuk mengurus pertanian cabe. Semuanya kulakukan sendiri dengan mendapat bimbingan dari ayah. Mulai dari menggarap tanah dan menggemburkannya. Sampai menyerak bibit yang telah siap untuk ditanam. Semuanya aku lakukan dengan sepenuh hati. Walaupun kadang aku merasa kasihan atas nasibku sendiri. Apalagi jika mengingat hampir semua teman setamatanku melanjutkan pendidikannya masing-masing ke Universitas idaman mereka. Pasti saat ini mereka sedang asyik belajar dikala aku harus mencangkul lahan pertanianku biar makin gembur. Tapi, semua itu segera ku tepis dengan semangat bahwa Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hambaNya.

Kekhilafan & Pengunduran Diri Saya

Berselang tiga bulan aku mengajar di SD biasanya guru komite seperti saya akan mendapatkan gaji atas pengabdian selama tiga bulan ini. Niatku akan memberikan separuh dari gaji yang kuterima kepada ayah dan ibu sudah bulat. Sedangkan selebihnya akan aku gunakan untuk keperluan pribadi dan membeli pupuk untuk pertanian cabe yang sedang ku tekuni.

Namun, lagi-lagi keberuntungan tidak berpihak padaku. Kali ini, adekku ya yang masih duduk di kelas lima SD membuat masalah yang menyebabkan semua rencana dan kegiatan saya berantakan. Dia berkelahi dengan siswa kelas enam. Malangnya adekku babak belur. Tidak terima dengan hal yang menimpa adek, emosi ayah spontan naik dan menyuruhku segera menyelesaikan masalah ini. Ya..sebagai seorang guru layaknya, aku sudah mendamaikan mereka tapi, ayah tetap tidak terima. Akhirnya, aku sendiripun terbawa emosi. Apalagi setelah melihat kondisi adek memang cukup parah dengan beberapa luka cakar di wajah dan bekas pukulan tangan lawannya. Singkat, siswa kelas enam yang berkelahi dengan adekku terpintal karena terkena tendangan kakiku. Dia meringis kesakitan. Suatu peristiwa yang tidak patut dicontoh, bahkan saya sering menyesal ketika mengenang kembali hal itu. Semoga Allah mengampuni kekeliruanku….

Sejak kejadian tesebut. Aku sudah enggan mengajar. Aku merasa sangat berdosa dan bodoh. Amanah sebagai seorang guru yang seharusnya bisa bersikap adil terhadap seluruh siswa tidak bisa kulakukan. Akhirnya aku memantapkan niat untuk berhenti mengajar.

Kini pikiranku begitu galau. Bagiku mengajar di SD adalah salah satu cara untuk menghilangkan rasa iba terhadap diriku sendiri karena belum bisa segera kuliah. Tapi, itu semua kandas akibat ulah adekku.Walaupun pada dasarnya ini semua nggak mutlak kesalahan adek. Pertanian cabe yang sedang ku rintis pun mulai jarang ku kunjungi. Entah sudah bagaimana keadaan lahan cabe tersebut aku bahkan tidak tahu lagi. Motivasiku turun drastis. Ditambah lagi orangtua siswa yang terkena tendanganku tidak terima dengan nasib yang menimpa anaknya. Mereka hendak melaporkanku kepada pihak berwajib. Untung hal itu bisa diredam dengan berdamai secara kekeluargaan.

Tekad Meninggalkan Kampung

Keadaan pun berbalik. Kalau selama ini aku bertahan untuk tinggal di kampong karena ada aktivitas mengajar yang bisa meredam keinginanku untuk kuliah. Nah, sekarang aktivitas mengajar sudah berhenti. Kebosanan mulai menghampiriku. Aku sudah nggak betah. Niatpun ku bulatkan untuk mencari hembusan angin cerah dengan mengadu nasib ke kota.

Nasehat Ustadz H. Ramli masing terus ku ingat. Dia pernah berkata dengan memenggal sebuah ayat dari Alqur’an. “Kalau tekadmu sudah bulat, maka bertawakkallah kepada Allah”. Firman Allah ini benar-benar menyentuh dan semakin memantapkan tekatku untuk segera berangkat dari kampung tercintaku demi meraih masa depan yang gemilang.

Seminggu kemudian, aku melangkahkan kaki dengan restu seluruh keluarga. Kota Pekanbaru dengan julukan kota bertuahnya menjadi tujuanku. Februari 2006, adalah hari pertama aku tiba di Pekanbaru. Bermodalkan secuil pendidikan agama yang aku dapat di pesantren, aku ingin mencoba mengadu keberuntungan di sini.

Beberapa menit setelah turun dari Bus Dolok Sordang, aku bingung mau pergi ke mana. Tak satu orang pun yang aku kenal di kota yang begitu besar ini. Memang sih ada lumayan banyak warga dari kampung yang sudah sekian lama tinggal dan bekerja di Pekanbaru.tapi, lagi-lagi, aku tidak kenal dan tidak tahu alamat mereka. Akhirnya aku lebih memilih duduk bersandar di bangku kayu yang disediakan untuk penumpang di loket bus ini.

Sejenak aku menghilangkan capek dan penat setelah seharian berada di dalam bus. Suara azan Ashar terdengar jelas di telingaku. Aku segera bergegas dan mencari dari masjid mana suara itu dikumandangkan. Ternyata setelah berjalan sekitar seratus meter ke arah barat, Masjid Al Hikmah pun aku temukan. Sebuah masjid yang tidak begitu luas. Namun, cukup untuk menampung para Jama’ah yang rumahnya dekat dengan masjid dan para jama’ah yang kebetulan sedang musyafir. Shalat azhar pun aku laksanakan, diimami oleh seorang ustadz yang suaranya lumayan merdu. Jadi teringat ketika masa-masa di pesantren dahulu. Suara ustadz tersebut mengingatkanku akan suara ustadz Amin-seorang yang sangat aku kagumi.

Setelah shalat azhar usai, aku memberanikan diri mengambil mixrofon dan menceritakan ikhwal kedatanganku ke Pekanbaru. Walaupun beberapa warga yang ikut shalat saat itu merasa aneh. Memang sih tidak ada yang menyuruhku mengambil mixrofon dan berbicara. Tapi bagiku, hal itu menjadi sebuah cara untuk bertahan hidup  sebab tak siapapun yang aku kenal.

Assalamu alaikum, bapak/Ibu para jama’ah. Nama saya Sakti. Saya berasal dari Sosa, sebuah kampung terpencil di Kab. Tapanuli Selatan, SUMUT. Saya baru sampai di kota pekanbaru ini. Tujuan saya adalah untuk kuliah tapi saya tidak punya uang. Orang tua saya pun tidak sanggup melanjutkan pendidikanku. Jadi, saya tidak tahu harus ke mana. Untuk itu saya mohon ketulusan hati bapak/ibu untuk mempekerjakan saya sebagai apapun, asalkan itu halal. Supaya saya bisa kuliah kalau uang saya sudah mencukupi. Asalamu alaikum”, kataku.

Mendengar penuturanku itu membuat para jama’ah prihatin dan mengacungkan jempol atas keberanianku. Hingga seorang warga membawaku ke rumahnya dan menjadikanku sebagai anak angkatnya. Beliau adalah Pak Suwito, ketulusannya hatinya itu sangat benar-benar berjasa dalam mengantarkanku seperti saat sekarang ini. Namun, Pak Suwito bukanlah seseorang yang yang memiliki harta yang berlimpah. Beliau adalah seorang pedagang sayur di pasar Kodim dan memiliki kios barang-barang kebutuhan harian di rumahnya. Dia belum dikarunia seorang anak pun oleh Allah. Mungkin itu salah satu hal yang membuat dia tidak terlalu diberatkan dengan kedatanganku. Hatinya yang begitu mulia membuatku nyaman dan betah tinggal bersama mereka. Nah, sebagai seorang anak yang tinggal menumpang. Aku sangat sadar diri. Aku turut membantu Pak Suwito beserta Bu Zainab menjualkan dagangan mereka. Setiap pagi aku ke pasar menjual sayur-sayuran bersama Pak Suwito. Begitu pulang dari pasar, aku juga turut membantu Bu Fatimah menjaga kios jualan di rumah. Keseharianku pun dihabiskan untuk berjualan. Aku tidak pernah merasa lelah membantu mereka. Bagiku mereka berdua sudah aku anggap sebagai pengganti kedua orangtuaku yang sangat aku cintai.

Tanpa terasa 4 bulan sudah berlalu setelah aku tinggal bersama mereka di kota bertuah ini. Waktu pendaftaran mahasiswa baru pun sudah semakin dekat. Tinggal beberapa minggu lagi di SMPTN akan buka sesuai informasi yang aku dapat dari harian pagi Riau Pos. Hal itu pun aku jelaskan kepada Pak Suwito dan Ibu Zainab sepulang dari jualan sayur di pasar Kodim sesaat kami sedang sarapan. Namun begitu hal itu kusampaikan, tak sepatah kata pun direspon oleh kedua pasangan suami isteri yang sangat aku hormati ini. Aku shock…kenapa nggak ada jawaban dari Pak Suwito? Padahal jauh-jauh hari aku juga pernah jelaskan hal yang sama. Aku semakin tidak mengerti kenapa mereka berubah.

Akhirnya, beberapa hari setelah niat untuk kuliah aku ceritakan. Tanpa sengaja aku mendengar percakapan singkat antara Pak Suwito dengan Bu Zainab. Yang inti dari pembicaraan itu adalah Bu Zainab tidak setuju kalau aku kuliah karena dia takut tidak ada yang membantu mereka jualan. Aku sungguh kecewa. Ternyata aku salah menilai mereka selama ini. Mereka hanya memanfaatkan tenagaku. Tidak lebih dari itu…

Setelah mengetahui hal itu. Aku pamit untuk tidak tinggal bersama mereka lagi. Bu Zainab pun marah. Dia bilang aku tidak tahu diri. Tapi, aku tidak perdulikan lagi kata-katanya. Karena tujuanku berkiprah ke Pekanbaru tidak lain untuk kuliah. Masalah baru timbul lagi. Aku tidak tahu harus ke mana lagi. Untungnya, denganberjualan di pasar Kodim selama empat bulan terakhir ini. Aku punya beberapa teman. Aku pun mendatangi mereka dan menceritakan masalah yang sedang aku alami. Syukurnya, dengan senang hati mereka menerimaku dan menawarkan sebuah pekerjaan baru untukku.

Pekerjaan baru tidak lain adalah menjadi tukang parkir. Aku pun mengiyakan. Bagiku apapun akan aku lakukan selagi itu halal. Yang penting aku bisa kuliah. Tanpa menunggu lama, suka duka sebagai tukang parkir pun aku tekuni. Penghasilan yang aku dapatkan tidak lebih dari tigapuluh ribu perharinya. Sedangkan untuk uang makan perhari saja bisa mencapai angka dua puluh ribu rupiah. Angka yang tidak memungkinkan untuk bisa mengantarkanku mengenyam pendidikan kampus yang selama ini aku impikan. Ditambah lagi kerasnya kehidupan pasar harus ku terima dengan lapang dada. Walau aku harus kerap kali bertengkar dengan pengendara sepeda motor atau mobil yang enggan membayar uang parkir.

Berselang satu bulan menjadi seorang tukang parkir. Aku mulai tidak tahan dengan kerasnya kehidupan pasar. Teman-teman pun tidak bias sejalan denganku. Mereka memang besar di pasar. Sudah barang tentu sikap mereka pun cenderung sangat keras. Apalagi, preman-preman pasar sering meminta uang setoran kepada kami. Bahkan uang yang kusimpan dari hasil menjaga parkir selama sebulan lenyap. Hatiku begitu pilu tidak tahu lagi harus berbuat apa lagi.

Ketika Pertolongan Allah Tiba

Disela-sela kekecewaanku aku tidak bisa berpikir jernih. Keesokan harinya, ketika waktu shalat zuhur tiba, aku segera menuju masjid. Aku mulai sadar bahwa segala sesuatu harus dikembalikan kepadaNya. Setibanya di masjid aku duduk di shop paling depan karena jamaah yang datang tidak banyak. Maklumlah, mungkin kebanyakan dari warga sedang bekerja. pengurus masjid yang biasanya mengumandangkan azan juga tidak datang. Maka, salah seorang warga yang dating menyuruhku untuk bertindak sebagai muadzin. Aku kaget. Walaupun aku pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Tapi, hal itu sudah lama tidak ku lakukan. Cuma aku tidak punya pilihan lain. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengumandangkan azan tersebut. Dengan suara lantang azan pun aku kumandangkan. Air mataku pun sesekali jatuh karena teringat terus nasib yang sedang menimpaku. Setalah azan selesai ku kumandangkan. Shalat azar pun berlangsung.

Selesai shalat azar aku masih duduk rapi di shaf tempatku shalat tadi. Seorang laki-laki separuh baya pun menghampiriku dan mengajakku bercerita. Akhirnya aku ceritakan semua kepada bapak tersebut apa yang sedang menimpa diriku. Ternyata tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong. Hal yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Tujuan bapak tersebut menghampiriku tadi adalah memintaku untuk tinggal di sebuah masjid di lingkungan bapak tersebut tinggal. Dia juga bilang, kalau aku bersedia tinggal di sana, maka biaya awal kuliah akan ditanggulangi oleh pengurus masjid. Tanpa berfikir panjang, tawaran itupun segera ku terima. Karena selama ini, yang sangat aku impikan adalah bisa melanjutkan pendidikanku dan mereka mau membantunya.

Aku pun tinggal di masjid Almuttaqin di jalan indra pahlawan Kelurahan Sekip. Di sinilah aku tinggal sampai tiga tahun. Tugas utamaku di masjid adalah mengumandangkan azan dan menjaga kebersihan masjid beserta lingkungannya. Para pengurus masjid sangat dermawan. Tidak jarang mereka membantuku di saat-saat pembayaran uang semester tiba.

Kemudian ketika aku duduk di semester tujuh. Sebuah kesempatan untuk kuliah singkat di Amerika Serikatpun terbuka untuk seluruh mahasiswa jenjang S1 di seluruh Indonesia. Sebagai seorang mahasiswa pendidikan bahasa inggris, aku pun tertantang untuk ikut seleksi. Setelah mengikuti beberapa tahap seleksi. Alhamdulillah, aku terpilih untuk menjadi salah satu penerima beasiswa yang diberangkatkan ke Universitas Arizona, USA tahun 2010. “Ya Allaaah, Seorang tukang parkir dan yang dulunya penjual sayur bisa menginjakkan kakinya di negara Paman Syam yang terkenal dengan kekuasaannya”, syukur ucapku.


Leave a Reply